Furqon Ulya Himawan
Penulis
NGEMOT, kamot, momot, ngemong lan momong. Berpikir dan belajar harus didahulukan sebelum bertindak dan melakukan sesuatu. Begitulah bunyi falsafah Jawa kuno yang mengajarkan cara menyikapi hoaks atau kabar bohong.
Kabar bohong atau hoaks sering kita jumpai di dunia maya. Tujuannya melakukan penghasutan atau menyebarkan kebencian dan berdampak pada berpecahan persatuan serta terkoyaknya kebinekaan di Nusantara. Salah satu cara selamat dari kabar hoaks adalah dengan menelaah informasi sebelum menentukan sikap atau tindakan.
Cara itu sudah lama diterapkan masyarakat penghayat kepercayaan Majelis Eklasing Budi Murko (MEBM) yang didirikan pada 1926. Bagi mereka, berpikir dan belajar harus didahulukan sebelum bertindak dan melakukan sesuatu. Persis dengan cara menyikapi hoaks.
Kaki Mangungwijoyo, sebagai pendiri MEBM, mengajarkan tata cara kehidupan dan semangat gotong royong. Hidup bermasyarakat dan berketuhanan. Mempelajari apa yang ada dalam diri manusia untuk mengetahui ketuhanan. Ajaran itu menuntun pengikutnya hidup dalam perdamaian dan tidak mengikuti hawa nafsu.
“Kita harus bisa ngemot, kamot, momot, ngemong lan momong,” begitu kata Mbah Mangun Wiharjo (68), sesepuh MEBM kepada Media Indonesia, di Yogyakarta, belum lama ini.
Falsafah Jawa itu mengandung nilai luhur yang bisa menjadikan rukun bagi siapa saja yang melaksanakannya. Menurut Mbah Mangun, itu juga bisa mengatasi persoalan hoaks yang sering muncul pada era digital seperti sekarang ini.
Sebagai manusia, khususnya orang Jawa, seseorang haruslah bisa menjadi wadah dan mewadahi apa saja tanpa emosi. Mencerna informasi dan mempelajarinya terlebih dahulu atau dalam bahasa saat ini ialah melek media atau paham literasi media.
“Sekarang itu bahasanya melek media. Lihat dulu, apakah ini (kabar) benar apa tidak,” ujar Mbah Mangun.
Dengan falsafah itu, manusia akan berpikir dan bertindak adil, tidak semena-mena. Ajaran itu selaras dengan nama Eklasing Budi Murko yang mengandung makna mengikhlaskan nafsu yang berlebihan. Seperti ucapan Mbah Mangun yang selalu mewanti-wanti penganut MEBM agar tidak mengikuti nafsu berlebihan. “Carilah solusi yang terbaik dengan musyawarah,” kata Mbah.
Keseimbangan vs Nafsu
Ajaran luhur lainnya yang masih selalu mereka ugemi ialah cara melestarikan alam. Haram bagi penghayat MEBM merusak bahkan menebang pohon. Manusia diciptakan di dunia seharusnya menjaga kelestarian alam. Alih-alih merawat, manusia justru merusaknya dan terjadilah bencana alam.
Bagi penghayat MEBM, terjadinya bencana alam tak lain disebabkan ulah manusia sendiri yang selalu mengeruk kekayaan alam tanpa belas kasih. “Kalau ada manusia bilang alam tidak bersahabat, itu pendapat yang sangat picik. Kan dia (manusia) yang bersalah,” kata Mbah.
Baca juga : http://weekend.lampungpost.id/apresiasi/2018/08/18/1705/
Masyarakat Jawa, terlebih penghayat MEBM, percaya adanya hukum karma. Siapa yang berbuat akan menerima akibat meski tidak langsung. Manusia seharusnya ingat kepada Tuhan serta menjalankan apa yang telah dianugerahkan. Juga tidak berlebihan dalam memanfaatkan alam mengeruk semena-mena mendepankan nafsu. “Eling. Sopo gawe, nganggo.”
Untuk itu, penghayat MEBM diwajibkan menjaga kelestarian alam dengan cara menanam pohon ketika menebang. Seperti ketika Tuhan menciptakan manusia, ada yang mati maka ada yang lahir. Dengan demikian, kelestarian alam berjalan seimbang, tidak habis.
Penghayat MEBM memiliki laku ajaran yang berbunyi jekat, tirakat, poso, dan sabar. Laku itu menjadi cara membatasi hawa nafsu agar tidak berlebihan dan mengikhlaskan segala sesuatu yang memang bukan haknya.
Jekat artinya suatu keputusan yang bulat tekadnya. Tirakat (tirakat) adalah kewajiban menjaga diri jangan sampai menyakiti makhluk lain. Poso (puasa)-nya ialah melatih jiwa untuk tidak mencaci-maki orang lain; minta maaf kalau salah, dan sabar dalam segala keadaan.
Tidak Memaksa
Meski MEBM banyak memiliki penganut, penghayat MEBM tidak pernah memaksa anak mereka mengikuti ajaran penghayat. Saking inklusifnya, penghayat MEBM tidak melarang anak-anak mereka ketika ingin menikah dengan orang selain penghayat atau ingin memeluk agama lain.
Mbah Mangun percaya, pemaksaan itu tidak baik dan tidak akan berhasil kalau hatinya belum terketuk.
Sebaliknya, ketika hatinya sudah terketuk, ditolak pun tidak bisa. Sebagai ajaran agama leluhur, penghayat MEBM memiliki pegangan hidup yang sangat arif dan memiliki nilai luhur. Pertama, menghidupkan rasa ketuhanan dengan cara selalu berhubungan dengan Tuhan. Kedua, menghidupkan rasa kemanusiaan dengan cara tidak menyakiti orang lain. Ketiga, menghidupkan semangat kegotongroyongan karena manusia ialah makhluk sosial.
Mereka juga tidak membedakan gender dalam mencari pemimpin. Bagi penghayat MEBM, lelaki dan perempuan memiliki jiwa yang sama. Perbedaan hanya pada fisik.
Tak hanya MEBM, masih banyak ajaran kearifan lokal dari penghayat yang sebetulnya memiliki nilai luhur. Jika nilai-nilai itu dijalankan seharusnya, pastilah semua bisa hidup rukun dan berdampingan.
Seperti penghayat MEBM yang hidup rukun dan berdampingan dengan masyarakat lainnya di Kulonprogo. Itulah nilai-nilai kebinekaan dalam Pancasila.